Sabtu, 18 Desember 2010

Hak Tanggungan


Latar Belakang
Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti hanya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninnya. Pendaftaran tanah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.

Tujuan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah bertujuan untuk (i) memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, (ii) untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah agar dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan-perbuatan hukum sehubungan dengan tanah dan rumah susun, dan (iii) untuk dapat terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, (“BPN”), dimana pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan (“Kantor Pertanahan”). Dalam menjalankan tugasnya, Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Agraria. Obyek dari pendaftaran tanah meliputi:
·         Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai;
·         tanah hak pengelolaan;
·         tanah wakaf;
·         hak milik atas satuan rumah susun;
·         hak tanggungan;
·         tanah Negara.

Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi (i) pendaftaran tanah untuk pertama kali, dan (ii) pemeliharaan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilakukan dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik, melalui kegiatan pengukuran dan pemetaan meliputi (i) pembuatan peta dasar pendaftaran, (ii) penetapan batas bidang-bidang tanah, (iii) pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, (iv) pembuatan daftar tanah, dan (v) pembuatan surat ukur.

Pendaftaran hak atas tanah maupun hak milik atas satuan rumah susun dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (i) pembuktian hak baru, dan (ii) pembuktian hak lama. Pembuktian atas tanah baru dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak menurut ketentuan yang berlaku, dan akta asli Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) yang memuat pemberian hak tersebut. Pemberian hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan berdasarkan akta pemisahan, yang menunjukkan satuan yang dimiliki, dan proposional atas kepemilikan rumah susun tersebut. Pendaftaran hak lama dibuktikan dengan alat – alat bukti berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau keterangan dari orang yang bersangkutan, yang kadar kebenarannya ditentukan oleh instansi yang berwenang.

Pembukuan Hak dan Penerbitan Sertifikat
Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis, yaitu keterangan atas status hukum tanah atau rumah susun, dan data fisik, yaitu keterangan mengenai batas, bidang, dan luas bidang tanah atau satuan rumah susun. Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang ada di dalam buku tanah. Penerbitan sertifikat tersebut bertujuan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sertifikat adalah tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama data fisik dan yuridis adalah data yang benar.

Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
Pemegang hak berkewajiban untuk mendaftarkan tanah, apabila terjadi perubahan atas data fisik atau yuridisi atas tanah. Misalnya apabila dilakukan pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang tanah, dan juga pembebanan atau pemindahan hak atas sebidang tanah. Pemindahan hak hanya bisa dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat di depan PPAT, dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Kemudian, akta mengenai pemindahan hak tersebut dikirim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya akta tersebut kepada Kantor Pertanahan.


Pencoretan Hak Tanggungan
Pencoretan Hak Tanggungan dilakukan jika Hak Tanggungan berakhir pada saat piutang telah dilunasi. Kantor pertanahan (BPN) setempat yang berwenang harus melakukan pencoretan / roya atas Hak Tanggungan di buku hak atas tanah dan sertifikat untuk menjamin kepastian hukumnya.
Tata cara mencoret sebagai berikut :
·         Mengajukan pencoretan / roya ke kantor pertanahan setempat.
·         Mengajukan permohonan meroya dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan dan surat pernyataan dari bank mengenai pelunasan piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan


Hapusnya Hak Tanggungan
Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Hapusnya hak atas tanah ini tidak menyebabkan hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut.

Eksekusi Hak Tanggungan
Apabila kreditor cidera janji obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak yang mendahului dari pada kreditor – kreditor yang lain.
a.      Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 6 yang diperkuat dengan janji yang disebut dalam Pasal 11 ayat 2 huruf e Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (“UUHT”).
b.      Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 2 UUHT.

Eksekusi Hak Tanggungan harus dilakukan dengan cara penjualan obyek Hak Tanggungannya melalui lelang umum, tetapi karena penjualan dengan cara tersebut tidak selalu menghasilkan harga yang lebih tinggi, maka berdasarkan Pasal 20 ayat 2 UUHT, atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilakukan di bawah tangan jika demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dan mempercepat proses penjualan serta memperoleh harga yang lebih tinggi.

Pelaksanaan penjualan di bawah tangan ini hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan oleh pemberi atau penerima Hak Tanggungannya kepada pihak – pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

Selasa, 14 Desember 2010

Target Naturalisasi Indonesia (Keturunan Indonesia)

Divisi Utama
Bobby Petta = adelaide united (australia)
Charles Dissels = sparta rotterdam
Delano Hill = willem II tilburg
Demy de Zeeuw = az alkmaar
Denny Landzaat = wigan athletic fc (inggris)
Giovanni van Bronckhorst = feyenoord rotterdam
Jason Oost = vvv venlo
Jeffrey Altheer = excelsior rotterdam
Jeffrey de Vischer = aberdeen fc (skotlandia)
Jeffrey Leiwakabessy = allemania aachen (jerman)
Jhon van Beukering = nec nijmegen
Johnny Heitinga = ajax amsterdam
Michael Mols = feyenoord rotterdam
Michael Timisela = vvv venlo
Quido Lanzaat = pfc cska sofia (bulgaria)
Robin van Persie = arsenal fc (inggris)
Sigourney Bandjar = excelsior rotterdam

Divisi I
Bryon Kiefer = bv veendam
David Ririhena = top oss
Dominggus Lim-Duan = fc eindhoven
Ferdinand Katipana = cambuur Leeuwarden
Joas Siahaija = mvv maastricht
Justin Tahapary = fc eindhoven
Levi Risamasu = agovv apeldoorn
Lucien Sahetapy = bv veendam
Milan Berck-Beelenkamp = hfc haarlem
Radja Nainggolan = piacenza calcio (italia) Gak Jadi (PENGHIANAT)
Randy Thenu = fc den bosch
Regilio Jacobs = top oss
Robbert Maruanaya = GA eagles deventer
Sergio Kawarmala = helmond sport
sergio van dijk = fc emmen

Junior
Andy Tahitu = de graafschap
Christian Supusepa = ajax amsterdam
Tobias Waisapy = feyenoord rotterdam
Tom Hiariej = fc groningen
Irfan Bachdim = fc utrecht
Stefano Lilipaly = fc utrecht
Django Ngutra = GA eagles deventer
Gino de Zeeuw = agovv apeldoorn
Yentl Heatubun = fortuna sittard
Jemayel Maruanaja = fortuna sittard
Njigel Latumaerissa = rkc waalwijk
Bryan Brard = vitesse arnhem

A (U-19)
Stefano Lilipaly = fc utrecht
Christian Supusepa = ajax amsterdam
Tim Hattu = vvv venlo
Jeffrey Hen = vvv venlo
Xander Houtkoop = sc Heerenveen
Edinho Pattinama = nac breda
Gaston Salasiwa = az alkmaar
Giovanni Kasanwirjo = ajax amsterdam
Raymond Soeroredjo = vitesse/agovv
Tobias Waisapy = feyenoord rotterdam
Jordao Pattinama = feyenoord rotterdam
Abel Tamata = psv eindhoven
Yael Heatubun = fortuna sittard
Django Ngutra = GA eagles deventer
Richie Pairun = cambuur Leeuwarden
Ruben Wuarbanaran = fc Den Bosch
Daniel Salakory = fc Den Bosch
Govanni Wilikin = top oss

B (U-17)
Anice Waisapy = vvv venlo
Cayfano Latupeirissa = nec nijmegen
Estefan Pattinasarany = az alkmaar
Joey Latumalea = fc groningen
Yoram Pesulima = vitesse/agovv
Marciano Leuwol = vitesse/agovv
Stevie Hattu = vvv venlo
Sonny Luhukay = vvv venlo
Masaro Latuheru = feyenoord rotterdam
Ferd Pasaribu = fortuna sittard
Jair Behoekoe Nam Radja = rkc waalwijk
Marinco Hiariej = bv veendam
Graham Bond = fc omniworld

C (U-15)
Brandon Leiwakabessy = nec nijmegen
Jordi Tatuarima = nec nijmegen
Levi Raja Boean = nec nijmegen
Rychto Lawalata = nec nijmegen
Benjamin Roemeon = vitesse/agovv
Delano Haulussy = GA eagles deventer
Ricarco Malaihollo = GA eagles deventer
Jordi Rakiman = cambuur leeuwarden
Kevin Pairun = cambuur leeuwarden

D - E
Silgio Thenu = feyenoord D1 (U-13)
Niaz de Coninck = feyenoord D1 BVO (U-13)
Tom Titarsolej = psv eindhoven D3 (U-11)
Jamarro Diks = vitesse/agovv D1 (U-13)
Kevin Diks (Bakarbessy) = vitesse/agovv D2 (U-12)
Jerah Hukom = Vitesse/agovv D2 (U-12)
Jamarro Diks = vitesse/agovv D1 (U-13)
Shayne Pattynama = ajax amsterdam E3 (U-10)
Nathan Haurissa = fc den bosch D2 (U-12)
Sereno Latuhihin = fc den bosch D3 (U-11)

Minggu, 12 Desember 2010

MEKANISME PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Mediasi adalah salah satu proses alternatif penyelesaian masalah dengan bantuan pihak ketiga (mediator) dan prosedur yang disepakati oleh para pihak dimana mediator memfasilitasi untuk dapat tercapai suatu solusi (perdamaian) yang saling menguntungkan para pihak. Mediator adalah orang/pejabat yang ditunjuk dari jajaran Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang disepakati oleh para pihak yang besengketa untuk menyelesaikan permasalahanya.

Didalam pelaksanaannya Mediasi dilaksanakan oleh pejabat/pegawai yang ditunjuk dengan surat tugas/surat perintah dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasionai, Kepala Badan Pertanahan Nasionai Republik Indonesia. Mediator yang melakukan mediasi tersebut adalah termasuk tipe Authoritative Mediator yang dimana Mediator yang melakukan mediasi tersebut merupaan Pejabat yang berwenang   (Authoritative Mediator) yaitu Tokoh formal, Pejabat-Pejabat yang mempunyai kompetensi dibidang sengketa yang ditangani dan di-syaratkan orang yang mempunyai pengetahuan dengan sengketa yang ditangani. Para pihak yang bersengketa harus mempunyai kepentingan langsung terhadap masalah yang dimediasikan.


Penjelasan Pelaksanaan Mediasi
I.      Pengaduan
Pengaduan ini dilakukan oleh pihak yang bersengketa kepada Badan Pertanahan Nasional, dalam hal ini berkenaan dengan sengketa tanah.

II.    Menelaah
Persiapan untuk mempertemukan kedua belah pihak :
·    Mengetahui pokok masalah dan duduk masalah.
·    Apakah masalah tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi atau tidak.
·    Pembentukan tim penanganan sengketa tentatif, tidak keharusan, ada kalanya pejabat struktural yang berwenang dapat langsung menyelenggarakan mediasi.
·    Penyiapan bahan, selain persiapan prosedur disiapkan bahan- bahan yang diperlukan untuk melakukan mediasi terhadap pokok sengketa, resume telaahan. Agar mediator sudah menguasai substansi masalah, meluruskan persoalan, saran bahkan peringatan jika kesepakatan yang diupayakan akan cenderung melanggar peraturan dibidang pertanahan, missal melanggar kepentingan pemegang hak tanggungan, kepentingan ahli waris lain, melanggar hakekat pemberian haknya (berkaitan dengan tanah Redistribusi).
·    Menentukan waktu dan tempat mediasi.

III.  Pemanggilan
·    Disampaikan kepada Para pihak yang berkepentingan, instansi terkait (apabila dipandang perlu) untuk mengadakan musyawarah penyelesaian sengketa dimaksud, dan diminta, untuk membawa serta data/informasi yang diperlukan.
·    Penataan struktur pertemuan dengan posisi tempat duduk huruf "U Seat" atau lingkaran.

IV.  Upaya Mediasi
1.      Kegiatan mediasi :
·         Mengatasi hambatan hubungan antar pihak (hubungan personal antar pihak).
·         Mencairkan suasana diantara kedua belah pihak yang bersengketa, suasana akrab, tidak kaku.
·         Penjelasan peran mediator
1)   Sebagai pihak ketiga yang tidak memihak (berkedudukan netral).
2)   Kehendak para pihak tidak dibatasi.
3)   Kedudukan para pihak dan kedudukan mediator sendiri harus netral.
4)   Kunci dari sesi ini adalah penegasan mengenai kesediaan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi dan oleh mediator Badan Pertanahan Nasionai Republik Indonesia.
5)   Dalam hal-hal tertentu berdasarkan kewenangannya (authoritas mediator autoritatif) mediator dapat melakukan intervensi/campur tangan dalam proses mencari kesepakatan dari persoalan yang disengketakan (bukan memihak), untuk menempatkan kesepakatan yang hendak dicapai sesuai dengan hokum pertanahan. Hal ini perlu dipahami oleh para pihak agar tidak menimbulkan dugaan apriori.
·      Klarifikasi para pihak
1)   Para pihak mengetahui kedudukannya.
2)   Dikondisikan tidak ada rasa apriori pada salah satu pihak/kedua belah pihak dengan objektivitas penyelesaian sengketa, kedudukan, hak, dan kewajiban sama.
3)   Masing-masing berhak memberikan dan memperoleh informasi/data yang disampaikan lawan.
4)   Para pihak dapat membantah atau meminta klarifikasi dari lawan dan wajib menghormati pihak lainnya.
5)   Pengaturan pelaksanaan mediasi
6)   Dari permulaan mediasi telah disampaikan aturan-aturan mediasi yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam mediasi.
7)   Aturan tersebut inisiatif dari mediator atau disusun baru kesepakatan para pihak, penyimpangan tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan para pihak.
8)   Aturan-aturan tersebut antara lain untuk menentukan :
a.   apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mediator
b.   aturan tata tertib diskusi dan negosiasi
c.    pemanfaatan dari kaukus
d.   pemberian waktu untuk berpikir, dsb.
e.   Perumusan aturan tersebut mungkin akan mengundang perdebatan yang panjang, namun bagi mediator yang sudah terbiasa melakukan tugasnya tidak sulit mengatasinya.
2.       Menyamakan pemahaman dan menetapkan agenda Musyawarah :
a.      Para pihak diminta untuk menyampaikan permasalahannya serta opsi-opsi alternative penyelesaian yang ditawarkan, sehingga ditarik benang merah permasalahannya agar proses negosiasi selalu terfokus pada persoalan (isu) tersebut. Disini dapat terjadi kesalahpahaman baik mengenai permasalahannya, pengertian yang terkait dengan sengketanya atau hal yang terkait dengan pengertian status tanah Negara dan individualisasi. Perlu upaya/ kesepakatan untuk menyamakan pemahaman mengenai berbagai hal. Mediator/Badan Pertanahan Nasionai Republik Indonesia harus member koreksi jika pengertian-pengertian persoalan yang disepakati tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, agar tidak terjadi kesesatan.
b.      Menetapkan agenda musyawarah (setting agenda)
1)   Setelah persoalan yang dapat menimbulkan mis interpretasi diatasi, kemudian ditentukan agenda yang perlu dibahas (setelah diketahui persoalan yang melingkupi sengketa).
2)   Agenda musyawarah bermaksud agar proses musyawarah, diskusi, negosiasi dapat terarah dan tidak melebar/keluar dari fokus persoalan mediator harus menjaga momen pembicaraan sehingga tidak terpancing atau terbawa/larut oleh pembicaraan para pihak.
3)   Mediator menyusun acara/agenda diskusi yang mencakup substansi permasalahan, alokasi waktu, jadwal pertemuan berikutnya yang perlu memperoleh persetujuan para pihak.
3.      Identifikasi kepentingan :
a.      Dilakukan identifikasi untuk menentukan pokok masalah sebenarnya, serta relevansi sebagai bahan untuk negosiasi. Pokok masalah harus selalu menjadi fokus proses mediasi selanjutnya. Jika terdapat penyimpangan mediator harus mengingatkan untuk kembali pada fokus permasalahan.
b.      Kepentingan yang menjadi fokus mediasi dapat menentukan kesepakatan penyelesaiannya. Kepentingan disini tidak harus dilihat dari aspek hukum saja, dapat dilihat dari aspek lain sepanjang memungkinkan dilakukan negosiasi dan hasilnya tidak melanggar hukum.
4.      Generalisasi opsi-opsi Para Pihak :
a.      Pengumpulan opsi-opsi sebagai alternatif yang diminta kemudian dilakukan generalisasi alternatif tersebut sehingga terdapat hubungan antar alternatif dengan permasalahannya.
b.      Dengan generalisasi terdapat kelompok opsi yang tidak dibedakan dari siapa, tetapi bagaimana cara menyelesaikan opsi tersebut melalui negosiasi, maka proses negosiasi lebih mudah.
c.       Opsi adalah sejumlah tuntutan dan alternatif penyelesaian terhadap sengketa dalam suatu proses mediasi.
d.      Kedua belah pihak dapat mengajukan opsi-opsi penyelesaian yang diinginkan :
1). Dalam mediasi autoritatif mediator juga dapat menyampaikan opsi atau alternatif yang lain.
      Contoh :
      Generalisasi opsi yang dipilih misalnya: batas tanah tetap dibiarkan, tanah tetap dikuasai secara nyata, pihak yang seharusnya berhak meminta ganti rugi.
2).   Tawar-menawar opsi dapat berlangsung alot dan tertutup kemungkinan dapat terjadi dead-lock. Disini mediator harus menggunakan sesi pribadi (periode session atau cancus).
3).  Negosiasi tahap terpenting dalam mediasi.
a)   Cara tawar-menawar terhadap opsi-opsi yang telah ditetapkan, disini dapat timbul kondisi yang tidak diinginkan. Mediator harus mengingatkan maksud dan tujuan serta fokus permasalahan yang dihadapi.
b)   Sesi pribadi (sesi berbicara secara pribadi) dengan salah satu pihak harus sepengetahuan dan persetujuan pihak lawan. Pihak lawan harus diberikan kesempatan menggunakan sesi pribadi yang sama.
c)    Proses negosiasi sering kali harus dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang berbeda.
d)   Hasil dari tahap ini adalah serangkaian daftar opsi yang dapat dijadikan alternatif penyelesaian sengketa yang bersangkutan.

5.      Penentuan opsi yang dipilih :
a.      Ada daftar opsi yang dipilih.
b.      Pengkajian opsi-opsi tersebut oleh masing-masing pihak.
c.       Menentukan menerima atau menolak opsi tersebut.
d.      Menentukan keputusan menghitung untung-rugi bagi masing-masing pihak.
e.      Para pihak dapat konsultasi pada pihak ketiga misalnya: pengacara, para ahli mengenai opsi-opsi tersebut.
f.        Mediator harus mampu mempengaruhi para pihak untuk tidak menggunakan kesempatan guna menekan pihak lawan. Disini diperlukan perhitungan dengan pertimbangan logis, rasional dan objektif untuk merealisasikan kesepakatan terhadap opsi yang dipilih tersebut.
g.      Kemampuan mediator akan diuji dalam sesi ini.
h.      Hasil dari kegiatan ini berupa putusan mengenai opsi yang diterima kedua belah pihak, namun belum final, harus dibicarakan lebih lanjut.
6.      Negosiasi akhir:
a.      Para pihak melakukan negosiasi final yaitu klarifikasi ketegasan mengenai opsi-opsi yang telah disepakati bagi penyelesaian sengketa dimaksud.
b.      Hasil dari tahap ini adalah putusan penyelesaian sengketa yang merupakan kesepakatan para pihak yang bersengketa.
c.       Kesepakatan tersebut pada pokoknya berisi: opsi yang diterima, hak dan kewajiban para pihak.
d.      Klarifikasi kesepakatan kepada para pihak.
e.      Penegasan/klarifikasi ini diperlukan agar para, pihak tidak ragu-ragu lagi akan pilihannya untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan sukarela melaksanakannya.

V.   Kesepakatan
1.      Kesepakatan Berhasil
a.      Dirumuskan dalam bentuk kesepakatan atau agreement/perjanjian (D.I. 512 C).
b.      Dengan kesepakatan tersebut secara substansi mediasi telah selesai, sementara tindak lanjut pelaksanaannya menjadi kewenangan pejabat Tata Usaha Negara.
c.       Setiap kegiatan mediasi hendaknya dituangkan dalam Berita Acara Mediasi (D.I. 512.A).
d.      Hasil mediasi dilaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindak lanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e.      Formalisasi kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan format perjanjian
f.        Dalam setiap mediasi perlu dibuat laporan hasil mediasi yang berlangsung (D.I. 512 B).
g.      Agar mempunyai kekuatan mengikat berita acara tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
2.      Kesepakatan Tidak Berhasil
Jika pada sesi mediasi yang telah dilakukan tidak mencapai kata sepakat, maka kedua belah pihak mempunyai dan diberikan hak untuk mengajukan permasalahan sengketa tersebut kemuka pengadilan.

Sumber Data Olahan:
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan Nomor : 05/Juknis/D.V/2007 Tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi.




Selasa, 23 November 2010

Kepentingan Umum dalam perspektif Yuridis Historis


Kepentingan Umum dalam perspektif Yuridis Historis 
“Kepentingan umum” yang terjadi di era ini seringkali menjadi alasan pembenar dari dan/ untuk pengambil alihan hak atas tanah masyarakat, yang meskipun dilegalkan oleh peraturan perundang-undangan, sampai saat ini masih seringkali masih diperdebatkan oleh beberapa pihak. Hal ini masih dipertanyakan di dalam sisi Hak Asasi Manusia yang telah tercantum dalamnya. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan sebutan yang diberikan pada hak dasar yang dimiliki oleh manusia, dan dipandang sangat mutlak bagi perkembangan manusia.
Ketika hal ini dipersandingkan dengan istilah kepentingan umum, setidaknya ada sisi utama, yakni pada sisi manusia yang akan diatur demi kepentingan umum. Apakah kepentingan umum itu dapat menunjang perkembangan manusia tersebut. Artinya, ketika sesuatu hal akan dilakukan dengan nama kepentingan umum, maka sisi Hak Asasi Manusia menjadi hal yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Dalam dimensi Hak Asasi Manusia, terdapat klausula yang disebut sebagai hak manusia atas pembangunan. hak azasi harus berkaitan dengan hak hidup dengan standar yang juga semakin meningkat, karenanya punya kaitan erat dengan pembangunan. Artinya, hak atas pembangunan termasuk Hak Asasi Manusia, sebab manusia tidak dapat hidup tanpa pembangunan
 Dalam perspektif historis setelah diundangkannya UUPA, peraturan yang terkait dengan pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum untuk pertama kalinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Produk legislasi ini memberi pedoman umum dalam beberapa contoh kegiatan, dan untuk selain contoh itu dapat ditetapkan oleh Presiden dalam bentuk Keppres. Tapi dalam perkembangannya, dominasi lembaga eksekutif dalam penetapan kegiatan untuk kepentingan umum justru lebih mengemuka dengan dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 1973, Permendagri No. 15 Tahun 1975 dan Permendagri No. 2 Tahun 1976 yang mengatur lebih dari hal-hal yang dimandatkan UU No. 20/1961 sebagai UU Organiknya. Demikian juga Keppres No 55 Tahun 1993, dan dilanjutkan oleh Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian direvisi oleh Perpres No. 65 Tahun 2006. Jika dicermati dari peraturan perundang-undangan tersebut, konsep kepentingan umum mengalami perubahan yang signifikan dan bisa dicirikan sebagai berikut:
pertama, penafsiran yang semakin meluas meliputi juga kegiatan-kegiatan yang berorientasi keuntungan, yaitu dengan dimungkinkannya keterlibatan swasta, dalam bentuk perjanjian BOT / KSO yang difasilitasi pemerintah. Keterlibatan swasta ini juga tampak dari klausul “dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah.” Selain orientasi yang dinilai makin kapitalistik, konsep negara sebagai keseluruhan bergeser ke konsep utilitarianis yang berpandangan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat dan hal yang bersifat kelompok kecil dianggap mengikuti kelompok besar. Ini dinilai dapat menimbulkan konsekuensi dikorbankannya lapisan masyarakat “yang lain” tersebut sehingga makin tersingkir dari sisi kepentingan umum itu sendiri.
 Kedua, wewenang perumusan yang makin didominasi oleh lembaga eksekutif. Keterlibatan DPRD dalam Rencana Pembangunan dianggap dinilai hanya prosedural formal, sedangkan lembaga yudikatif tidak disertakan dalam penafsiran “kepentingan umum” yang terjadi dimasyarakat, meskipun terjadi sengketa yang berujung di pengadilan. Begitu pula dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 yang menempatkan lembaga peradilan sebagai tempat konsignasi (penitipan uang ganti rugi).
Hal ini cenderung memperspektifkan kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah dinilai lebih mementingkan dirinya sendiri diatas tameng kepentingan umum itu sendiri. Sementara  Pengadilan yang menjadi tempat penitipan ganti rugi tersebut tetap tidak dilibatkan secara aktif dalam menafsirkan “kepentingan umum” tersebut. 
Ketiga, penafsiran yang demikian itu tidak didukung dengan perlindungan hukum yang kuat bagi warga itu sendiri. Persoalan pengambilalihan hak atas tanah tidak seharusnya disederhanakan pada besarnya harga tanah atau ganti rugi. Penetapan harga berdasar NJOP seharusnya masih memerlukan kesepakatan dari masyarakat. Sayangnya, masyarakat pemilik tanah sering dalam posisi sub-ordinat, yang memungkinkan minimnya daya tawar mereka dalam kesepakatan harga. Selain itu, antisipasi dari para spekulan tanah dan perlindungan hukum berupa keterlibatan lembaga yudikatif juga diperlukan jika terjadi sengketa. Tetapi peraturan perundang-undangan yang ada membatasi kewenangan yudikatif pada persoalan ganti rugi saja. Dan pengajuan sengketa ke PTUN juga dibatasi dengan ketentuan bahwa proses peradilan tersebut tidak menghentikan pelaksanaan keputusan TUN.
Dari ketiga perkembangan di atas, disinyalir oleh banyak pihak perubahan tersebut untuk memuluskan proyek – proyek pembangunan, seperti kepentingan yang diatur didalam Keppres No 55 Tahun 1993, dan dilanjutkan oleh Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian direvisi oleh Perpres No. 65 Tahun 2006.