Kepentingan Umum dalam perspektif Yuridis Historis
“Kepentingan umum” yang terjadi di era ini seringkali menjadi alasan pembenar dari dan/ untuk pengambil alihan hak atas tanah masyarakat, yang meskipun dilegalkan oleh peraturan perundang-undangan, sampai saat ini masih seringkali masih diperdebatkan oleh beberapa pihak. Hal ini masih dipertanyakan di dalam sisi Hak Asasi Manusia yang telah tercantum dalamnya. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan sebutan yang diberikan pada hak dasar yang dimiliki oleh manusia, dan dipandang sangat mutlak bagi perkembangan manusia.
Ketika hal ini dipersandingkan dengan istilah kepentingan umum, setidaknya ada sisi utama, yakni pada sisi manusia yang akan diatur demi kepentingan umum. Apakah kepentingan umum itu dapat menunjang perkembangan manusia tersebut. Artinya, ketika sesuatu hal akan dilakukan dengan nama kepentingan umum, maka sisi Hak Asasi Manusia menjadi hal yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Dalam dimensi Hak Asasi Manusia, terdapat klausula yang disebut sebagai hak manusia atas pembangunan. hak azasi harus berkaitan dengan hak hidup dengan standar yang juga semakin meningkat, karenanya punya kaitan erat dengan pembangunan. Artinya, hak atas pembangunan termasuk Hak Asasi Manusia, sebab manusia tidak dapat hidup tanpa pembangunan
Dalam perspektif historis setelah diundangkannya UUPA, peraturan yang terkait dengan pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum untuk pertama kalinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Produk legislasi ini memberi pedoman umum dalam beberapa contoh kegiatan, dan untuk selain contoh itu dapat ditetapkan oleh Presiden dalam bentuk Keppres. Tapi dalam perkembangannya, dominasi lembaga eksekutif dalam penetapan kegiatan untuk kepentingan umum justru lebih mengemuka dengan dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 1973, Permendagri No. 15 Tahun 1975 dan Permendagri No. 2 Tahun 1976 yang mengatur lebih dari hal-hal yang dimandatkan UU No. 20/1961 sebagai UU Organiknya. Demikian juga Keppres No 55 Tahun 1993, dan dilanjutkan oleh Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian direvisi oleh Perpres No. 65 Tahun 2006. Jika dicermati dari peraturan perundang-undangan tersebut, konsep kepentingan umum mengalami perubahan yang signifikan dan bisa dicirikan sebagai berikut:
pertama, penafsiran yang semakin meluas meliputi juga kegiatan-kegiatan yang berorientasi keuntungan, yaitu dengan dimungkinkannya keterlibatan swasta, dalam bentuk perjanjian BOT / KSO yang difasilitasi pemerintah. Keterlibatan swasta ini juga tampak dari klausul “dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah.” Selain orientasi yang dinilai makin kapitalistik, konsep negara sebagai keseluruhan bergeser ke konsep utilitarianis yang berpandangan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat dan hal yang bersifat kelompok kecil dianggap mengikuti kelompok besar. Ini dinilai dapat menimbulkan konsekuensi dikorbankannya lapisan masyarakat “yang lain” tersebut sehingga makin tersingkir dari sisi kepentingan umum itu sendiri.
Kedua, wewenang perumusan yang makin didominasi oleh lembaga eksekutif. Keterlibatan DPRD dalam Rencana Pembangunan dianggap dinilai hanya prosedural formal, sedangkan lembaga yudikatif tidak disertakan dalam penafsiran “kepentingan umum” yang terjadi dimasyarakat, meskipun terjadi sengketa yang berujung di pengadilan. Begitu pula dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 yang menempatkan lembaga peradilan sebagai tempat konsignasi (penitipan uang ganti rugi).
Hal ini cenderung memperspektifkan kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah dinilai lebih mementingkan dirinya sendiri diatas tameng kepentingan umum itu sendiri. Sementara Pengadilan yang menjadi tempat penitipan ganti rugi tersebut tetap tidak dilibatkan secara aktif dalam menafsirkan “kepentingan umum” tersebut.
Ketiga, penafsiran yang demikian itu tidak didukung dengan perlindungan hukum yang kuat bagi warga itu sendiri. Persoalan pengambilalihan hak atas tanah tidak seharusnya disederhanakan pada besarnya harga tanah atau ganti rugi. Penetapan harga berdasar NJOP seharusnya masih memerlukan kesepakatan dari masyarakat. Sayangnya, masyarakat pemilik tanah sering dalam posisi sub-ordinat, yang memungkinkan minimnya daya tawar mereka dalam kesepakatan harga. Selain itu, antisipasi dari para spekulan tanah dan perlindungan hukum berupa keterlibatan lembaga yudikatif juga diperlukan jika terjadi sengketa. Tetapi peraturan perundang-undangan yang ada membatasi kewenangan yudikatif pada persoalan ganti rugi saja. Dan pengajuan sengketa ke PTUN juga dibatasi dengan ketentuan bahwa proses peradilan tersebut tidak menghentikan pelaksanaan keputusan TUN.
Dari ketiga perkembangan di atas, disinyalir oleh banyak pihak perubahan tersebut untuk memuluskan proyek – proyek pembangunan, seperti kepentingan yang diatur didalam Keppres No 55 Tahun 1993, dan dilanjutkan oleh Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian direvisi oleh Perpres No. 65 Tahun 2006.